• Terima kasih kepada seluruh jamaah yang telah berbagi rezeki untuk Program Ramadhan 1446 H, Berkah Berseka. جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيرًا ||---|| Mari bergerak bersama dalam mengurangi sampah selama bulan Ramadhan 1446 H, melalui Berkah Berseka, BERsama Kurangi SampAH, Bersih Sehat Lingkungan
Sabtu, 19 Juli 2025

TEMPE

TEMPE
Bagikan

Penulis, Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes. rutin mengisi Kajian Rabu.

Istri saya yang sedang berusaha istiqomah menjalani program diet yang diberikan oleh dokter gizinya, sedang punya rutinitas baru: membuat tempe bacem. Karena tempe dan tahu serta telur adalah sumber protein yang disarankan pada beliau agar dikonsumsi setiap hari untuk bisa mendapatkan berat badan ideal dan kondisi kesehatan optimal.

Sayalah orang yang paling beruntung dalam hal ini, karena saya adalah tipe manusia Indonesia yang fanatik dan suka sekali pada segala jenis hidangan tempe. Mulai dari tempe gembus sampai tempe bongkrek, juga sambel tumpang, orek tempe, atau bahkan yang agak aneh seperti burger tempe pun saya suka.

Terlebih saya sedikit tahu juga manfaat kesehatan dari tempe yang direpresentasikan tak hanya dari komposisi protein dan asam aminonya saja, melainkan juga dari kandungan aneka metabolit lainnya. Bahkan saya berkeyakinan bahwa proses fermentasi yang telah dilalui tempe sejak berawal dari sekumpulan kedelai sampai bisa hadir sebagai produk olahan, tentulah menyisakan kearifan hayati berupa tingginya kandungan pre dan pro biotik di dalamnya.

Maka alih-alih minder, saya justru bangga sekali jika dicap sebagai bangsa tempe. Mengapa? Karena tempe itu sedemikian istimewanya, hingga orang dari mancanegara saja bisa tergila-gila padanya. Tak percaya ?

Lihat saja berita di Detik Food belum lama ini, ada perusahaan rintisan asal Britania Raya yang baru saja mendapatkan tambahan pendanaan sebesar 1,1 juta poundsterling, yang kalau dirupiahkan ya kira-kira sekitar 29 milyar. Lumayan banget kan ?

Dilansir dari laman Foodbev, Selasa (11/3), Tiba Tempeh baru saja mendapat perhatian. Dalam satu tahun terakhir Tiba Tempeh dilaporkan mengalami peningkatan penjualan hingga 736%. Sampai akhirnya suntikan dana sebenar 1,1 Juta poundsterling atau sekitar Rp 29 miliar diberikan kepada startup tersebut. Pendanaan tersebut diberikan oleh Maven Capital Partners dengan investor Northern Powerhouse Investment Fund II dan didukung oleh British Business Bank. Start up yang didirikan oleh Alexandra dan Ross Longton ini beroperasi sejak 2019. Memasuki tahun 2025 konon ada beberapa inovasi dan produk terbaru yang akan diluncurkan di pasaran

Meski nama tempe yang mendunia itu Tiba Tempeh, tapi tentu dalam catatan sejarah kuliner, tempe tidak muncul tiba-tiba bukan ?

Sejarah tempe berakar kuat di tanah Jawa, dengan bukti dokumenter tertua yang secara definitif mengukuhkan keberadaannya setidaknya sejak abad ke-17. Referensi paling awal dan paling sering dikutip tentang tempe ditemukan dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa klasik yang ditulis sekitar tahun 1815 atas perintah Pakubuwana V dari Surakarta.

Meskipun ditulis pada awal abad ke-19, narasi dalam Serat Centhini berlatar pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram (1613-1645). Dalam jilid ketiga manuskrip tersebut, dikisahkan perjalanan Mas Cebolang yang singgah di dusun Tembayat, Klaten, Jawa Tengah. Di sana, ia dijamu oleh Pangeran Bayat dengan hidangan yang mencakup “brambang jae santen tempe” (sejenis masakan tempe dengan santan, jahe, dan bawang merah) dan “kadhele tempe srundengan”.

Penyebutan spesifik ini tidak hanya mengkonfirmasi keberadaan tempe pada masa itu tetapi juga menunjukkan bahwa tempe sudah menjadi bagian dari hidangan yang disajikan kepada tamu terhormat, menandakan statusnya yang mapan dalam kuliner Jawa.

Kemunculan tempe di Jawa, dan bukan di Tiongkok yang merupakan pusat asal kedelai dan berbagai produk fermentasinya seperti kecap dan tauco, menunjukkan adanya sebuah inovasi teknologi pangan yang unik dan spesifik secara geografis. Sementara produk kedelai lainnya diperkenalkan ke Indonesia melalui jalur perdagangan, tempe adalah hasil penemuan asli masyarakat Jawa.

Proses fermentasi tempe yang menggunakan kapang Rhizopus, yang tumbuh subur di iklim tropis Jawa, secara fundamental berbeda dengan fermentasi kecap yang menggunakan kapang Aspergillus. Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa kuno secara mandiri mengembangkan teknik bioteknologi canggih untuk memanfaatkan kedelai, kemungkinan besar sebagai cara untuk meningkatkan daya cerna, nilai gizi, dan rasa dari bahan pangan tersebut, sehingga menciptakan produk yang sama sekali baru dan berbeda dari tradisi fermentasi kedelai Tiongkok.

Proses pembuatan tempe bukanlah sekadar adopsi teknologi, melainkan sebuah contoh cemerlang dari inovasi pangan pribumi (indigenous innovation).
Dimana secara etimologis, kata “tempe” diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno, “tumpi”, yang merujuk pada makanan berwarna putih yang terbuat dari tepung sagu atau ketan. Kemiripan visual antara “tumpi” dengan tempe segar yang diselimuti miselium putih yang padat kemungkinan menjadi dasar penamaan ini.

Pada awalnya, tempe dibuat dari kedelai hitam (Glycine soja), dan teknologi pembuatannya diwariskan secara turun-temurun, menghasilkan berbagai varian lokal yang khas di berbagai daerah Jawa seperti Tempe Jogja, Tempe Banyumas, dan Tempe Malang.

Proses pembuatan tempe adalah sebuah mahakarya bioteknologi yang mengandalkan interaksi kompleks antara mikroorganisme dan substrat kedelai. Fermentasi ini tidak hanya mengawetkan tetapi secara aktif mengubah kedelai menjadi produk pangan dengan nilai gizi dan fungsionalitas yang jauh lebih tinggi.

Reaktor inti dari proses fermentasi tempe adalah aktivitas kapang dari genus Rhizopus. Meskipun beberapa spesies dapat digunakan, dua yang paling dominan dan penting adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Dari keduanya, R. oligosporus dianggap sebagai kapang yang paling ideal dan paling sering digunakan dalam produksi tempe berkualitas tinggi.

Keunggulan R. oligosporus terletak pada beberapa karakteristik kuncinya, dimana ia mampu tumbuh dengan cepat pada suhu yang relatif tinggi (berkisar antara 30°C hingga 42°C), yang sesuai dengan iklim tropis Indonesia dan memungkinkan proses fermentasi yang efisien; ia menunjukkan aktivitas enzimatik proteolitik (pemecah protein) dan lipolitik (pemecah lemak) yang sangat kuat; dan ia mampu menghasilkan senyawa antioksidan alami yang berkontribusi pada stabilitas dan manfaat kesehatan produk akhir.

Selain itu, R. oligosporus juga diketahui dapat menghasilkan agen antibakteri yang dapat menekan pertumbuhan bakteri pembusuk atau patogen selama fermentasi, memastikan keamanan dan kualitas tempe.

Proses fermentasi tempe secara tradisional memerlukan kondisi lingkungan yang terkontrol. Inkubasi biasanya berlangsung selama 24 hingga 72 jam, meskipun waktu yang lebih singkat sekitar 29 jam dapat dicapai dengan inkubator modern.

Suhu optimal untuk pertumbuhan R. oligosporus adalah sekitar 30°C hingga 37°C, dengan kelembaban relatif udara dijaga antara 60% hingga 70%. Fase fermentasi paling optimal, di mana tempe mencapai kualitas terbaik dari segi tekstur, aroma, dan rasa, biasanya tercapai dalam rentang waktu 30 hingga 50 jam setelah inokulasi. Jika fermentasi berlanjut terlalu lama, akan terjadi pemecahan protein yang berlebihan yang menghasilkan amonia, menyebabkan aroma yang tidak sedap dan tekstur yang menjadi terlalu lunak.

Fermentasi mengubah senyawa yang kurang bermanfaat atau sulit dicerna (seperti protein kompleks, asam fitat, dan isoflavon glikosida) menjadi senyawa yang sangat bioavailable dan bioaktif (seperti asam amino bebas, mineral bebas, dan isoflavon aglikon).

Fakta di atas menunjukkan bahwa tempe bukanlah sekadar “kedelai olahan”; ia adalah produk hasil biotransformasi di mana nilai nutrisi dan fungsionalnya ditingkatkan secara enzimatik, mengubahnya dari makanan biasa menjadi pangan fungsional yang superior.

Tapi sebenarnya jasad renik ataupun mikroba yang terlibat dalam proses pembuatan tempe tak hanya Rhizopus saja, melainkan melibatkan suatu ekosistem yang harmoni dan sinergi dari berbagai elemen tak kasat mata lainnya. Salah satu mikroorganisme yang sering ditemukan dalam tempe adalah khamir Saccharomyces cerevisiae.

Kehadiran khamir ini dapat memberikan dampak positif dengan berkontribusi pada pembentukan senyawa-senyawa volatil yang memperkaya flavor dan aroma tempe. Lebih penting lagi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa S. cerevisiae mungkin memainkan peran signifikan dalam produksi vitamin B12 selama fermentasi.

Bahkan bakteri yang dianggap sebagai “kontaminan” seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii telah diidentifikasi sebagai produsen utama vitamin B12 dalam tempe.

Kedelai sebagai bahan baku utama tidak mengandung vitamin B12, sehingga kehadiran vitamin ini dalam produk akhir adalah murni hasil aktivitas mikroba. Bakteri-bakteri ini tumbuh bersama Rhizopus dalam lingkungan fermentasi, dan membentuk suatu orkestrasi nan harmoni dalam suatu ekosistem pertempean yang unik dan canggih.

Penting juga untuk dicatat bahwa penelitian genomik modern telah menunjukkan bahwa strain K. pneumoniae yang diisolasi dari tempe berbeda secara genetik dari strain patogenik yang menyebabkan penyakit pada manusia, sehingga aman untuk dikonsumsi.

Selain bakteri pensintesis B12, bakteri asam laktat (BAL) juga dapat hadir, terutama pada tahap awal perendaman kedelai. BAL membantu menciptakan lingkungan asam yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, sebelum Rhizopus mulai mendominasi. Bayangkan betapa indahnya ekosistem pertempean ini, mereka telah menerapkan prinsip 3A; saling asah-asih-asuh.

Yang lebih eduuun lagi, teknologi biotek warisan nenek moyang kita ini ternyata telah dengan arif bijaksana, tak hanya menjadi metoda preservasi atau pengawetan makanan belaka, melainkan juga memberikan nilai tambah yang luar biasa pada makanan tersebut.

Proses fermentasi secara radikal mengubah komposisi kimia kedelai, menghasilkan produk akhir berupa tempe dengan profil nutrisi dan bioaktif yang jauh lebih unggul. Transformasi ini tidak hanya menyangkut perubahan makronutrien, tetapi juga peningkatan dramatis dalam daya cerna dan bioavailabilitas, serta pembentukan senyawa-senyawa fungsional baru.

Tempe jika dipikir-pikir adalah makanan yang terkategori super food yang sebenarnya. Tempe adalah makanan padat nutrisi. Dalam setiap 100 gram porsi tempe yang telah dimasak, terkandung sekitar 195 hingga 201 kalori, sekitar 20 gram protein berkualitas tinggi, 11 gram lemak (sebagian besar tak jenuh), dan 8 hingga 13.5 gram karbohidrat.

Kandungan proteinnya yang tinggi membuatnya sebanding dengan sumber protein hewani seperti daging dan ikan, menjadikannya alternatif yang sangat baik dalam pola makan nabati.

Selama fermentasi, total kandungan protein dalam basis basah mungkin tidak berubah secara drastis atau bahkan sedikit menurun karena sebagian digunakan oleh kapang untuk pertumbuhannya. Namun, jika diukur per basis kering, konsentrasi protein seringkali tampak meningkat karena hilangnya massa lain seperti karbohidrat yang larut dalam air.

Dari segi mikronutrien, tempe merupakan sumber mineral yang sangat baik. Setiap 100 gram tempe menyediakan zat besi (sekitar 2.1 mg), kalsium (berkisar antara 96 mg hingga 155 mg), magnesium (77 mg), fosfor (253 mg), dan mangan (1.3 mg).

Proses fermentasi juga diketahui dapat meningkatkan kandungan beberapa vitamin B, terutama riboflavin (vitamin B2) dan niasin (vitamin B3), dibandingkan dengan kedelai yang tidak difermentasi.

Dan ternyata proses pertempean dengan metoda fermentasi tradisional (menggunakan usar dari daun Jati) telah mengubah struktur, karakter, dan fungsi protein di kedelai. Enzim protease dari Rhizopus/ ragi memecah protein kedelai yang besar dan kompleks menjadi peptida dan asam amino yang lebih kecil. Hal ini membuat protein dalam tempe jauh lebih mudah dicerna oleh sistem pencernaan manusia.

Studi yang membandingkan kedelai hitam dengan tempe kedelai hitam menunjukkan bahwa proses fermentasi secara signifikan meningkatkan daya cerna proteinnya. Ini berarti tubuh dapat menyerap dan memanfaatkan asam amino dari tempe dengan lebih efisien dibandingkan dari kedelai yang tidak difermentasi.

Kedelai, sebagaimana banyak legum lainnya, mengandung senyawa anti-nutrien yang dapat mengganggu penyerapan nutrisi lain. Fermentasi tempe secara efektif dapat mengatasi masalah ini. Asam fitat, yang dikenal sebagai pengikat mineral, dihidrolisis oleh enzim fitase yang dihasilkan kapang, sehingga melepaskan mineral-mineral seperti kalsium, zat besi, dan seng untuk dapat diserap oleh tubuh.

Selain itu, kadar tanin, senyawa lain yang dapat menghambat penyerapan protein dan mineral, juga terbukti menurun secara signifikan selama proses fermentasi. Pengurangan anti-nutrien ini adalah kunci mengapa mineral dan nutrisi lain dalam tempe memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi.

Proses fermentasi pada tempe tidak hanya memecah senyawa yang ada, tetapi juga menciptakan senyawa bioaktif baru atau mengubahnya menjadi bentuk yang lebih kuat.

Dimana kedelai merupakan sumber isoflavon yang kaya, senyawa fitoestrogen yang memiliki banyak manfaat kesehatan. Namun, dalam kedelai mentah, sebagian besar isoflavon ini berada dalam bentuk glikosida, artinya mereka terikat pada molekul gula. Bentuk terikat ini lebih sulit diserap oleh usus manusia.

Selama proses fermentasi tempe, enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh Rhizopus bekerja memutus ikatan gula tersebut. Proses hidrolisis ini melepaskan isoflavon ke dalam bentuk bebasnya, yang dikenal sebagai aglikon, terutama genistein dan daidzein.

Bentuk aglikon ini secara signifikan lebih bioaktif dan lebih mudah diserap melalui dinding usus dibandingkan bentuk glikosidanya. Sebagai bukti nyata dari transformasi ini, sebuah studi menemukan bahwa kadar genistein (salah satu aglikon utama) dalam tempe bisa 5 hingga 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan susu kedelai, yang tidak melalui proses fermentasi oleh kapang.

Menariknya, proses pengolahan lebih lanjut seperti menggoreng atau merebus tempe bahkan dapat meningkatkan jumlah genistein yang terukur, kemungkinan karena panas membantu memfasilitasi hidrolisis lebih lanjut dari sisa glikosida.

Tempe itu makin digoreng, dibuat mendoan, sampai dibacem dan disambel, makin banyak pula manfaatnya yang bisa didapat.

Salah satu karakteristik nutrisi tempe yang paling luar biasa adalah kandungan vitamin B12-nya. Kedelai sebagai tanaman tidak menghasilkan vitamin B12, dan vitamin ini hampir secara eksklusif ditemukan pada produk hewani.

Kehadiran vitamin B12 dalam tempe (sekitar 0.08 µg dalam tempe mentah hingga 0.14 µg per 100g dalam tempe matang) adalah murni hasil aktivitas mikroba yang terjadi selama fermentasi.

Sumber vitamin B12 ini bukanlah kapang Rhizopus itu sendiri, melainkan bakteri yang tumbuh bersamanya dalam ekosistem fermentasi. Penelitian secara konsisten mengidentifikasi bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii sebagai agen utama sintesis vitamin B12 dalam tempe.

Bayangkan nenek moyang kita dahulu telah berhasil membuat “paberik” vitamin B12 melalui kearifannya dala mengelola kedelai yang difermentasi menjadi tempat dengan metoda yang dalam terminologi saat ini mungkin dianggap “agak jorok”, alias tidak steril atau higienis. Hasilnya? Ya produksi vitamin B12 itu tadi kan.

Manfaat tempe tidak berhenti hanya pada kehadiran isoflavon dan vitamin B12 saja. Proses fermentasi tempa juga menghasilkan “koktail bioaktif” yang kompleks.

Hidrolisis protein oleh protease tidak hanya menghasilkan asam amino untuk nutrisi, tetapi juga menciptakan peptida-peptida bioaktif rantai pendek. Banyak dari peptida ini memiliki aktivitas biologisnya sendiri, termasuk sebagai antioksidan, anti-hipertensi (dengan menghambat enzim pengonversi angiotensin), dan anti-inflamasi.

Fermentasi tempe secara umum juga meningkatkan total kandungan senyawa fenolik dan kapasitas antioksidan tempe secara keseluruhan. Selain isoflavon, tempe juga mengandung molekul antioksidan unik yang tidak ditemukan dalam kedelai, yaitu 3-hydroxyanthranilic acid (3HAA). Senyawa ini merupakan produk dari metabolisme asam amino triptofan oleh kapang Rhizopus dan telah terbukti memiliki sifat antioksidan yang kuat.

Tempe juga diketahui mengandung GABA (Gamma-Aminobutyric Acid), dimana dalam kondisi fermentasi tertentu, terutama jika melibatkan fase anaerobik (tanpa oksigen) setelah fase aerobik awal, tempe dapat menghasilkan GABA. GABA sendiri adalah neurotransmiter inhibitor utama di otak, dan konsumsinya dikaitkan dengan munculnya efek relaksasi dan penurun stres. Tempe itu menenangkan Bro !!

Studi laboratorium (in vitro) dan pada hewan/in vivo telah menunjukkan bahwa isoflavon dalam tempe, khususnya genistein, memiliki potensi sebagai agen anti-kanker. Mekanisme yang teridentikasi termasuk kemampuannya untuk menghambat proliferasi (pertumbuhan) sel kanker dan menekan angiogenesis, yaitu proses pembentukan pembuluh darah baru yang dibutuhkan tumor untuk tumbuh dan menyebar.

Sementara itu salah satu manfaat tempe yang paling signifikan adalah dampaknya terhadap sistem pencernaan dan mikrobiota usus. Tempe kaya akan serat pangan, termasuk oligosakarida seperti stachyose dan raffinose, yang meskipun jumlahnya berkurang selama fermentasi, sisa yang ada berfungsi sebagai prebiotik.

Prebiotik adalah senyawa yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi berfungsi sebagai “makanan” untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar, mendorong pertumbuhan dan aktivitas mereka.

Lebih dari itu, tempe juga menunjukkan efek paraprobiotik. Sebagian besar tempe dikonsumsi setelah dimasak, yang berarti mikroorganisme hidup di dalamnya (probiotik) menjadi tidak aktif atau mati. Namun, penelitian menunjukkan bahwa komponen seluler dari mikroba yang mati ini, seperti fragmen dinding sel, DNA, dan metabolit lainnya, masih dapat berinteraksi dengan sistem imun di usus dan memberikan manfaat kesehatan.

Hal ini menjelaskan mengapa tempe yang dimasak pun tetap memberikan dampak positif pada kesehatan usus.
Bukti paling kuat datang dari studi intervensi pada manusia. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa konsumsi tempe secara teratur dapat memodulasi komposisi mikrobiota usus ke arah yang lebih sehat.

Secara spesifik, konsumsi 100 gram tempe kukus per hari selama periode 16 hingga 28 hari terbukti secara signifikan meningkatkan populasi dua genus bakteri yang sangat menguntungkan: Bifidobacterium dan Akkermansia muciniphila. Bifidobacterium adalah salah satu probiotik yang paling terkenal, dikaitkan dengan kesehatan pencernaan secara umum.

Sementara itu, A. muciniphila adalah bakteri pendegradasi musin yang keberadaannya dalam jumlah tinggi sangat terkait dengan status metabolik yang lebih sehat, termasuk sensitivitas insulin yang lebih baik, penurunan inflamasi, dan penguatan integritas sawar usus (penghalang usus).

Peningkatan populasi bakteri-bakteri ini menunjukkan bahwa tempe berperan aktif dalam membentuk ekosistem usus yang sehat.

Sejumlah besar studi, termasuk meta-analisis dari uji klinis terkontrol, telah menunjukkan bahwa konsumsi protein kedelai sebagai pengganti protein hewani secara signifikan menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL.

Sebuah studi meta-analisis penting menemukan bahwa substitusi ini dapat menurunkan kolesterol LDL hingga 12,9%. Studi intervensi yang secara spesifik menggunakan tempe juga menunjukkan tren penurunan kolesterol, meskipun beberapa hasilnya tidak signifikan secara statistik, kemungkinan karena durasi studi atau dosis yang bervariasi.

Isoflavon, terutama genistein, diyakini memainkan peran sentral dalam mekanisme ini, kemungkinan dengan mempengaruhi metabolisme kolesterol di hati.

Manfaat kardiovaskular tempe tidak hanya berasal dari isoflavon. Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, termasuk asam lemak omega-3 dan omega-6, berkontribusi pada kesehatan jantung.

Serat pangan dalam tempe juga membantu menurunkan kolesterol dengan mengikat asam empedu di usus, memaksa hati untuk menggunakan lebih banyak kolesterol untuk memproduksi asam empedu baru.

Selain itu, efek antioksidan dari isoflavon dan senyawa fenolik lainnya melindungi partikel LDL dari oksidasi, suatu tahapan kritis awal dalam proses pembentukan plak aterosklerosis di dinding arteri.

Beberapa penelitian juga melaporkan manfaat tambahan seperti penurunan tekanan darah dan perbaikan resistensi insulin, yang keduanya merupakan faktor resiko penting untuk penyakit kardiovaskular.

Tempe juga sumber kalsium nabati yang baik, dengan kandungan mencapai 96 hingga 155 mg per 100 gram. Lebih penting dari sekadar jumlahnya adalah bioavailabilitasnya. Sebuah studi random crossover yang menggunakan teknik isotop stabil pada wanita Melayu pascamenopause menemukan bahwa efisiensi penyerapan kalsium dari tempe (sekitar 37%) tidak berbeda secara signifikan dengan penyerapan kalsium dari susu sapi (sekitar 34%). Ini adalah temuan yang sangat penting, karena menunjukkan bahwa tempe dapat menjadi sumber kalsium yang andal dan mudah diserap, terutama bagi individu yang tidak mengonsumsi produk susu karena intoleransi laktosa, alergi, atau pilihan gaya hidup.

Isoflavon dalam tempe, seperti genistein dan daidzein, memiliki struktur kimia yang mirip dengan hormon estrogen manusia. Karena kemiripan ini, mereka dapat berikatan dengan reseptor estrogen di berbagai jaringan tubuh, termasuk tulang, dan memberikan efek estrogenik yang lemah. Ini sangat relevan bagi wanita pasca menopause, di mana penurunan tajam kadar estrogen alami menyebabkan percepatan pengeroposan massa tulang.

Dengan meniru sebagian fungsi estrogen, isoflavon dari tempe dapat membantu memperlambat laju pengeroposan tulang, menjaga kepadatan mineral tulang, dan berpotensi mengurangi risiko fraktur osteoporosis. Studi pada model hewan (tikus yang diovariektomi untuk meniru kondisi menopause) telah menunjukkan bahwa pemberian tempe dapat memperbaiki penanda metabolisme tulang.

Tempe diketahui memiliki indeks glikemik yang rendah. Ini berarti karbohidrat di dalamnya dicerna dan diserap secara perlahan, sehingga tidak menyebabkan lonjakan gula darah yang tajam setelah makan. Hal ini menjadikan tempe pilihan makanan yang sangat baik bagi penderita diabetes tipe 2 untuk membantu mengontrol kadar glukosa darah mereka, serta bagi individu sehat untuk pencegahan penyakit tersebut.

Konsumsi tempe juga telah terbukti dapat mempengaruhi sistem imunitas atau kekebalan tubuh. Studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa konsumsi tempe dapat meningkatkan sekresi Imunoglobulin A (IgA) di usus. IgA adalah antibodi yang berperan sebagai garis pertahanan pertama di permukaan mukosa (seperti di usus), membantu menetralisir patogen dan toksin sebelum mereka dapat masuk ke dalam tubuh.

Selain itu, sebuah studi pada model hewan menunjukkan bahwa tempe dapat menurunkan kadar Imunoglobulin E (IgE), antibodi yang terkait erat dengan respons alergi.

Data dan fakta di atas menunjukkan pada kita tentang betapa istimewanya tempe bukan ? Maka sudah selayaknya jika kita sebagai generasi penerus bangsa turut memelihara dan mengembangkan warisan budaya kuliner yang luar biasa hebat ini.

Sebuah mandatory bagi kita bersama agar dapat mengangkat manfaat tempe ke tingkat dunia, agar tempe mendapat tempat yang bermartabat, sesuai dengan banyaknya manfaat yang bisa didapat, mulai dari estetika rasa sampai manfaat sehat. Maka dengan tempe mari kita bawa Indonesia mendunia. Hidup Tempe !!!

🙏🏾🙏🏾🇮🇩🇮🇩🇮🇩

SebelumnyaBimtek Pengelola PerpustakaanSesudahnyaPALA
Tidak ada komentar

Tulis komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *