Bandeng


Penulis, Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes. rutin mengisi Kajian Rabu
Beberapa pekan lalu saat saya diminta untuk mengisi kegiatan pelatihan di manajemen Semen Indonesia Group yang berlokasi di Yogyakarta, saya banyak mengangkat kearifan lokal Gresik dan Tuban yang merupakan daerah asal atau tempat penugasan dari para peserta pelatihan yang sangat komunikatif dan guyub itu, komunikasi sosial khas Jawa Timuran.
Mengapa saya senang menggunakan elemen story berbasis kearifan lokal peserta kegiatan ? Tak lain dan tak bukan, itu adalah salah satu upaya tulus untuk membangun rapport secara berkesinambungan yang dapat mengonstruksi suatu kondisi emotional bonding yang erat.
Pengertian rapport sendiri adalah hubungan saling pengertian dan kepercayaan antara dua orang atau lebih. Dalam konteks komunikasi, rapport menciptakan suasana yang harmonis dan nyaman, sehingga percakapan bisa mengalir lancar dan bermakna.
Rapport juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk terhubung dengan orang lain secara emosional, sehingga terjalin rasa saling memahami dan menghargai.
Dalam membangun rapport, beberapa teknik yang bisa digunakan antara lain adalah ; pacing and leading, dimana kita dapat menyesuaikan diri dengan bahasa tubuh, nada suara, dan gaya bicara lawan bicara, kemudian secara perlahan mengikuti arah percakapan, hingga tercipta keselarasan komunikasi.
Lalu ada teknik matching and mirroring, antara lain dengan meniru gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan gaya bicara lawan bicara untuk menciptakan rasa kesamaan. Hal ini antara lain untuk menemukan titik-titik kesamaan dalam upaya mencari kesamaan minat, pengalaman, atau nilai-nilai untuk membangun hubungan yang lebih dekat.
Penting dalam hal membangun komunikasi sosial yang baik untuk menunjukkan empati. Dimana proses saling memahami dan mengakui perasaan lawan bicara wajib dilakukan dengan tulus, antara lain dengan memberikan perhatian penuh.
Perhatian itu dapat berupa fokus pada apa yang dikatakan lawan bicara dan tunjukkan bahwa kita tertarik dengan apa yang mereka sampaikan. Hal ini menjadi salah satu kunci untuk meraih hati kawan-kawan baru dimana kita harus memulai suatu model interaksi yang dilandasi dengan kebersamaan.
Walhasil banyak dari peserta pelatihan, kegiatan workshop, seminar internal, FGD, mahasiswa, murid, jama’ah pengajian, dan kawan-kawan yang awalnya sekedar bersua di perjalanan; menjelma menjadi sahabat rasa saudara yang sampai saat ini masih terus saling menyapa sebagai sesama manusia.
Nah dalam event SIG itu saya banyak membahas perkara Bandeng dan pepes telur ikan Bader. Mengapa? Karena baik Gresik maupun Tuban adalah daerah pesisir utara Jawa yang budaya kulinernya erat dengan tradisi pangan maritim. Maka selain soal Siwalan yang juga merupakan buah endemik kawasan tersebut, maka bandenglah ikan pemersatu warga.
Kisah Bandeng dan pepes ndog iwak inilah yang membuka sesi saya pagi itu. Diselingi dengan menyanyikan bersama tembang dan syi’ir karya Sunan Giri dan Sunan Bonang dalam bahasa Jawa, mengalirlah cerita dari warung Bandeng Pak Elan dan pusat pepes telur ikan Sindujoyo Mbak Ima, melintasi Laut Jawa dan bertualanglah kita bersama dalam suasana gembira, membahas banyak hal yang dipenuhi canda tawa. Sungguh pagi yang indah bukan ?
Berawal dari kisah Bandeng di hotel Tara Yogya itu, kali ini saya ingin mendalami peran Bandeng dari kajian yang lebih intens dan menyeluruh. Bukan sekedar cerita betapa nikmatnya bandeng bakar tanpa duri yang dicocol dengan sambal gurih di warung Pak Elan saja, melainkan juga menelaah peran Bandeng yang turut membentuk rupa peradaban pesisir Indonesia dari masa ke masa.
Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu spesies ikan paling ikonik di Asia Tenggara, dan Indonesia, bersama Filipina, berdiri sebagai produsen terbesar di dunia dengan volume produksi mencapai ratusan ribu ton setiap tahunnya. Namun, signifikansi bandeng di Nusantara jauh melampaui statistik produksi semata. Ikan ini adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban maritim Indonesia, sebuah komoditas yang telah dibudidayakan, diperdagangkan, dan dirayakan selama berabad-abad, menjadikannya saksi hidup dari dinamika ekologi, budaya, dan ekonomi di wilayah pesisir.
Sejarah budidaya bandeng adalah cerminan dari kemampuan masyarakat Indonesia dalam beradaptasi, berinovasi, dan menjalin hubungan simbiosis dengan lingkungan pesisir yang unik.
Fakta yang kata gen Z mindblowing adalah kenyataan bahwa bandeng dan tambaknya dapat menjadi contoh nyata adaptasi populasi manusia dengan kondisi lingkungannya dan kemampuannya untuk mengembangkan inovasi dalam hal penyediaan bahan pangan.
Fondasi dari budidaya tambak adalah kondisi geologis yang memungkinkan. Pesisir utara Jawa, serta wilayah pesisir lainnya di Sulawesi dan Sumatera, secara geologis dicirikan oleh pembentukan delta sungai, estuaria, dan zona rawa bakau yang luas.
Proses sedimentasi yang berlangsung selama ribuan tahun menciptakan dataran rendah pesisir yang landai, terlindung dari gelombang laut terbuka, dan dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Lingkungan air payau yang terbentuk di zona peralihan antara darat dan laut ini menjadi habitat alami bagi banyak spesies, termasuk larva dan nener bandeng yang bermigrasi dari laut lepas.
Kondisi geologis inilah yang menyediakan “kanvas” alami bagi nenek moyang masyarakat pesisir untuk mulai bereksperimen dengan memanipulasi lingkungan guna menahan dan membesarkan ikan, yang pada akhirnya melahirkan sistem tambak.
Di Pulau Bawean, misalnya, bukti geologis menunjukkan adanya pengangkatan vertikal lempeng tektonik selama periode Neogen dan Kuarter, yang turut membentuk lanskap pesisir yang dinamis dan kaya akan sumber daya laut.
Bukti paling kuat dan definitif mengenai akuakultur terstruktur di Indonesia berasal dari era Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Jauh dari sekadar praktik informal, budidaya tambak pada masa ini telah menjadi bagian dari aparatur negara, seperti yang tercatat dalam sumber-sumber epigrafi.
Prasasti Karang Bogem (1387 M) menjadi dokumen kunci dalam hal ini. Prasasti logam yang ditemukan di dekat Gresik ini merupakan piagam kerajaan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Isinya secara eksplisit menyebutkan pendirian sebuah wilayah perikanan dan adanya jabatan resmi yang mengurusnya.
Kutipan penting dari prasasti tersebut berbunyi: “Haken karange patih tambak karang bogem…” yang berarti “Menetapkan daerah seorang patih tambak Karang Bogem…” Penggunaan istilah “patih tambak” menandakan adanya seorang pejabat yang ditunjuk secara resmi oleh kerajaan dengan tugas dan yurisdiksi spesifik untuk mengelola pertambakan. Ini menunjukkan sebuah sistem birokrasi yang sudah mengenali dan mengatur sektor perikanan budidaya.
Lebih jauh lagi, prasasti ini menegaskan integrasi ekonomi tambak ke dalam kas kerajaan. Kalimat “Tambake akature pingong” yang diterjemahkan sebagai “Hasil tambak harus diberikan kepada kita (kerajaan)” membuktikan bahwa hasil panen dari tambak tersebut merupakan bentuk upeti atau pajak kepada negara, atau mungkin saja badan pengelola pertambakan pada masa itu adalah semacam BUMN di masa kini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa budidaya tambak pada abad ke-14 di Jawa bukan lagi sekadar aktivitas subsisten untuk pemenuhan kebutuhan pangan lokal, melainkan sebuah sektor ekonomi produktif yang diakui, diatur, dan dieksploitasi oleh negara Majapahit sebagai sumber pendapatan. Ini adalah contoh kongkret dari bentuk tata kelola sumber daya pesisir yang sangat maju pada zamannya.
Pengakuan atas nilai ekonomi tambak juga tercermin dalam sistem hukum kuno. Kitab Jawa Kuno “Kutara Menawa”, yang dikenal sebagai salah satu korpus hukum resmi pada masa Majapahit, dilaporkan memuat aturan yang melindungi aset-aset perikanan. Disebutkan bahwa siwakan (kolam ikan air tawar di pedalaman) dan tambak (kolam air payau di pesisir) adalah barang yang perlu dilindungi oleh undang-undang dari tindak pencurian.
Meskipun detail pasal-pasal spesifik mengenai hal ini tidak terinci dalam sumber yang tersedia , penyebutan ini sendiri sudah merupakan bukti kuat. Adanya kerangka hukum yang melindungi properti akuakultur menandakan bahwa praktik ini sudah begitu mapan dan bernilai sehingga negara merasa perlu untuk menjamin keamanannya melalui legislasi tertulis.
Temuan-temuan tekstual ini didukung oleh konteks arkeologis dari berbagai situs di pesisir utara Jawa. Situs seperti Plawangan di Rembang, yang diperkirakan berkembang pada masa pra-Islam hingga periode awal Islam, menunjukkan adanya komunitas pesisir yang aktif dan terorganisir.
Penggalian di situs ini menghasilkan beragam artefak yang terkait dengan aktivitas maritim, termasuk gerabah dalam berbagai bentuk (tempayan, periuk, kendi), manik-manik, artefak logam, dan yang paling relevan adalah bandul jala (pemberat jaring ikan).
Meskipun temuan ini tidak secara langsung membuktikan adanya tambak, mereka melukiskan gambaran sebuah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya laut dan pesisir. Permukiman-permukiman inilah yang menjadi wadah bagi perkembangan dan penyempurnaan teknologi, termasuk teknologi budidaya tambak yang kemudian diatur oleh kerajaan.
Secara keseluruhan, jejak-jejak ini menunjukkan sebuah kesinambungan yang luar biasa. Wilayah yang sama, seperti Gresik dan sekitarnya, yang disebut dalam Prasasti Karang Bogem pada abad ke-14 , terus menjadi pusat budaya dan ekonomi bandeng pada abad ke-15 di masa Sunan Giri , dan tetap menjadi salah satu sentra produksi bandeng nasional hingga hari ini. Ini membuktikan bahwa keunggulan ekologis unik di pesisir utara Jawa, yang pertama kali dimanfaatkan secara sistematis pada masa Majapahit, telah menjadikan wilayah ini sebagai jantung peradaban bandeng Indonesia selama lebih dari 600 tahun.
Jauh melampaui perannya sebagai sumber protein dan komoditas ekonomi, ikan bandeng telah meresap ke dalam struktur sosial dan budaya masyarakat pesisir Indonesia. Ikan ini bukan sekadar hasil panen, melainkan juga simbol identitas, medium interaksi sosial, dan subjek dari sistem pengetahuan ekologis tradisional (TEK) yang kaya dan kompleks. Analisis antropologis mengungkap bagaimana bandeng ditenun ke dalam kain kehidupan sehari-hari, ritual, dan kosmologi masyarakat pembudidayanya.
Di berbagai daerah di Indonesia, bandeng telah bertransformasi dari sekadar bahan pangan menjadi ikon budaya yang sarat makna. Dua contoh paling menonjol adalah tradisi di Gresik dan Banten, yang menunjukkan bagaimana ikan ini dapat menjadi pusat dari perayaan komunal dan simbol status sosial.
Adanya Pasar Bandeng Gresik adalah sebuah warisan budaya hidup yang akarnya dapat ditelusuri hingga abad ke-15, pada masa penyebaran Islam oleh Sunan Giri. Berawal dari kebiasaan para santri Sunan Giri yang membawa oleh-oleh ikan bandeng saat mudik Lebaran, tradisi ini berevolusi menjadi sebuah festival tahunan yang megah.
Puncak dari festival ini adalah Kontes Bandeng Kawak, di mana para petambak berlomba memamerkan bandeng hasil budidaya terbesar mereka. Seekor bandeng pemenang bisa mencapai berat fantastis, seperti 18,04 kg pada tahun 2022, dan dibeli dengan harga tinggi oleh pejabat atau tokoh masyarakat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bandeng tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menjadi medium untuk memperoleh prestise sosial. Kemampuan membesarkan “bandeng kawak” adalah bukti keahlian dan kesuksesan seorang petambak, yang diakui dan dirayakan oleh seluruh komunitas.
Pasar Bandeng juga telah menjadi ajang silaturahmi, perayaan religius (diadakan pada malam-malam terakhir Ramadan), dan penegasan identitas Gresik sebagai “Kota Bandeng”.
Di Banten, bandeng naik kelas menjadi hidangan istana. Sate Bandeng adalah kuliner warisan yang konon berasal dari abad ke-16, menjadi hidangan favorit Sultan Maulana Hasanuddin, sultan pertama Banten. Proses pembuatannya yang rumit, melibatkan pemisahan daging dari kulit, pembuangan seluruh duri, pencampuran daging dengan bumbu rempah dan santan, lalu memasukkannya kembali ke dalam kulit ikan sebelum dibakar; mencerminkan tingkat kecanggihan kuliner yang tinggi.
Sate ini tidak hanya disantap oleh sultan, tetapi juga dihidangkan kepada tamu-tamu kerajaan sebagai bentuk jamuan kehormatan dan diplomasi, untuk memamerkan kekayaan dan kehalusan budaya Kesultanan Banten. Resep dan teknik pembuatannya diwariskan secara turun-temurun, menjadikannya sebuah warisan budaya tak benda yang mengikat generasi masa kini dengan sejarah kejayaan masa lalu.
Sementara di Sulawesi Selatan siapa yang tak kenal dengan ikan Bolu. Bahkan dalam tradisi kuliner Pangkejene Kepulauan, hidangan Bolu beserta Sop Saudara adalah menu kuliner wajib yang telah menjadi ciri, bahkan identitas etnik yang melekat sangat erat. DNA Bandeng mungkin telah mengalir dalam darah saudara-saudara kita dari Pangkep itu.
Sebagai bagian dari budaya kognitif adaptif, budidaya bandeng telah melahirkan banyak kearifan lokal dalam hal inovasi perikanan. Petambak di Pinrang memahami prinsip-prinsip rekayasa sederhana namun efektif. Mereka membangun pematang (tingkasa) dengan dasar yang lebih lebar dari puncak untuk menahan erosi, serta membuat sistem kanal keliling (caren atau kalorang) di dalam tambak sebagai tempat perlindungan dan area makan bagi ikan saat air surut.
Tanpa bergantung pada teknologi modern, mereka mengelola sirkulasi air tambak dengan memanfaatkan siklus pasang surut laut. Pengetahuan mereka tentang kalender bulan (qomariah) sangat presisi; mereka tahu kapan terjadi pasang besar (bonang) dan pasang kecil (konda).
Mereka akan berjaga di tambak pada dini hari atau sore hari untuk membuka dan menutup pintu air, memastikan pertukaran air yang optimal untuk menjaga kualitasnya.
Sistem budidaya bandeng tradisional tidak berfokus pada pemberian pakan buatan. Sebaliknya, petambak adalah “petani” pakan alami. Mereka mengolah dasar tambak melalui siklus pengeringan, pengapuran, dan pemupukan organik untuk menumbuhkan klekap, sebuah lapisan subur yang terdiri dari alga, bakteri, dan mikroorganisme lain yang menjadi makanan utama bandeng.
Teknik ini adalah bentuk manajemen ekosistem yang canggih dan berkelanjutan.
Pengetahuan ekologis ini seringkali tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual dan ritual. Praktik-praktik ini bukan sekadar takhayul, melainkan cara untuk menanamkan etos kerja, kehati-hatian, dan rasa hormat terhadap alam.
Di Pinrang, proses penebaran benih (nener) adalah sebuah upacara kecil. Sang punggawa (pemimpin petambak) harus dalam kondisi batin yang tenang dan mengenakan pakaian bersih, sebagai simbol niat yang suci. Sebelum benih ditebar, mereka akan mengamati gerakannya di dalam baskom. Mereka menunggu hingga benih berenang ke arah kanan (kanan), yang dalam kosmologi lokal melambangkan kebaikan, keberuntungan, dan awal yang baik.
Jika benih tidak bergerak ke kanan, air akan diputar perlahan untuk mengarahkannya. Sambil menebar, doa dipanjatkan kepada Nabi Hillere (diyakini sebagai Nabi Khaidir), sosok penjaga air dalam tradisi Islam-sinkretis di Nusantara.
Praktik ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk “kosmologi terapan”. Ritual menunggu benih bergerak ke kanan memaksa petambak untuk bersabar, mengamati dengan saksama kondisi dan vitalitas benih, sebuah bentuk kontrol kualitas yang terbungkus dalam tindakan simbolis. Dengan menghubungkan aktivitas duniawi (bertambak) dengan entitas sakral (Nabi Khaidir), pekerjaan ini diangkat menjadi sebuah tugas suci, sebuah bentuk pertanggungjawaban kepada kekuatan yang lebih tinggi.
Hal ini diharapkan dapat menanamkan etika pemeliharaan (stewardship atau kekhalifahan) yang mendalam, yang mungkin lebih efektif dalam mendorong praktik berkelanjutan daripada sekadar peraturan teknis.
Dari semua fakta di atas terlihat jelas bahwa bandeng telah menjadi medium transaksi sosial dan politik. Di Gresik, ia menjadi alat untuk meraih prestise. Di Banten, ia adalah instrumen diplomasi. Di Majapahit, ia adalah sumber upeti yang menopang negara (pengelolaan model BUMN) .
Sedangkan di tingkat desa, ia adalah pusat dari sebuah sistem pengetahuan dan ritual yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Dengan demikian, ikan bandeng adalah entitas budaya yang kompleks, yang sejarahnya adalah sejarah masyarakat pesisir Indonesia itu sendiri.
Keberhasilan budidaya bandeng yang telah berlangsung selama berabad-abad di Indonesia tidak terlepas dari karakteristik biologis dan ekologis yang luar biasa dari spesies Chanos chanos itu sendiri. Ikan ini memiliki serangkaian adaptasi unik yang membuatnya sangat cocok untuk dibudidayakan dalam sistem tambak air payau yang menjadi ciri khas pesisir Nusantara.
Pemahaman mendalam terhadap biologi bandeng adalah kunci untuk mengapresiasi mengapa praktik ini dapat berkembang dan bertahan begitu lama.
Ikan bandeng, yang secara ilmiah dikenal sebagai Chanos chanos, adalah satu-satunya spesies yang masih hidup dari famili Chanidae, menjadikannya sebuah “fosil hidup” dalam taksonomi ikan.
Secara morfologis, tubuhnya dirancang untuk kecepatan dan efisiensi di perairan terbuka. Bentuknya yang ramping, padat, dan pipih seperti torpedo (fusiform), dengan sirip ekor yang bercabang tajam (forked), adalah adaptasi klasik untuk perenang cepat. Ciri-ciri ini, bersama dengan sisiknya yang berwarna perak mengkilap, memberinya julukan “milkfish” dalam bahasa Inggris.
Sifat biologis yang paling fundamental dan menjadi kunci keberhasilan budidayanya adalah kemampuannya yang luar biasa untuk beradaptasi dengan berbagai tingkat salinitas. Bandeng adalah ikan euryhaline, yang berarti ia dapat bertahan hidup dan tumbuh dalam rentang kadar garam yang sangat lebar, mulai dari air tawar (0 ppt), air payau, hingga kondisi air laut bahkan hipersalin (mampu mentolerir hingga 140 ppt).
Kemampuan ini dimungkinkan oleh mekanisme osmoregulasi yang sangat efisien. Di lingkungan air tawar, di mana konsentrasi garam dalam tubuhnya lebih tinggi daripada di lingkungan luar, ikan bandeng secara aktif memompa garam masuk melalui sel-sel khusus di insangnya dan mengeluarkan urin dalam jumlah besar dan sangat encer untuk membuang kelebihan air.
Sebaliknya, di air asin, ia akan minum air laut dan mengeluarkan kelebihan garam melalui insang dan urin yang pekat. Adaptasi fisiologis ini memungkinkan bandeng untuk dibudidayakan di berbagai tipe perairan, mulai dari tambak pesisir tradisional, keramba jaring apung di laut, hingga kolam air tawar di pedalaman.
Siklus hidup alami bandeng secara langsung membentuk dasar dari praktik budidaya tradisional. Bandeng memiliki siklus hidup katadromus, yang berarti ikan dewasa hidup di laut dan bermigrasi ke perairan tawar atau payau untuk memijah, namun dalam kasus bandeng, polanya sedikit berbeda: ikan dewasa memijah di perairan laut dekat terumbu karang. Telur-telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi larva, yang kemudian secara naluriah akan bergerak menuju perairan pantai yang lebih tenang dan kaya nutrisi.
Larva dan benih kecil bandeng, yang dikenal sebagai nener, akan memasuki kawasan estuaria, rawa-rawa bakau, dan muara sungai untuk mencari makan dan tumbuh besar. Fase inilah yang dieksploitasi oleh para pembudidaya tradisional. Mereka menangkap nener yang melimpah secara musiman di perairan pantai, lalu memindahkannya ke dalam tambak buatan yang pada dasarnya adalah replika dari habitat pembesaran alami mereka.
Setelah dewasa, secara naluriah bandeng akan berusaha kembali ke laut untuk berkembang biak, sebuah siklus yang diputus dalam sistem budidaya.
Kebiasaan makan bandeng juga sangat mendukung sistem budidaya tradisional yang rendah input. Pola makannya berubah seiring dengan tahap kehidupannya (ontogenetic diet shift): bersifat karnivora pada fase larva (memakan zooplankton), menjadi omnivora pada fase benih, kemudian menjadi herbivora pada fase juvenil, dan kembali menjadi omnivora saat dewasa.
Di dalam ekosistem tambak tradisional, makanan utama bandeng pada fase pembesaran adalah klekap. Ini bukan sekadar lumut biasa, melainkan sebuah komunitas biologis kompleks yang tumbuh di dasar tambak, terdiri dari berbagai jenis alga (terutama diatom dari kelas Bacillariophyceae), bakteri, protozoa, cacing kecil, dan jasad renik lainnya.
Kemampuan bandeng untuk “merumput” di atas lapisan klekap ini menjadikannya kandidat ideal untuk sistem budidaya di mana fokus utama petani bukanlah memberi makan ikan secara langsung, melainkan mengelola kondisi tambak (pengeringan, pemupukan) untuk menumbuhkan pakan alami ini.
Sampai hari ini industri budidaya bandeng merupakan salah satu pilar penting dalam sektor perikanan Indonesia, yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, ketahanan pangan, dan penciptaan lapangan kerja di wilayah pesisir.
Analisis ekonomi terhadap industri bandeng, mulai dari skala produksi nasional hingga tingkat keuntungan di tingkat usaha dan potensi nilai tambah melalui pengolahan, mengungkap dinamika, tantangan, dan peluang yang ada.
Indonesia secara konsisten menempati posisi sebagai salah satu produsen bandeng terbesar di dunia. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan skala produksi yang masif.
Pada tahun 2023, total produksi ikan bandeng dari budidaya pembesaran mencapai 772.709 ton. Angka ini menunjukkan peran vital bandeng dalam portofolio perikanan budidaya nasional, berada di urutan kelima setelah rumput laut, nila, lele, dan udang.
Tren produksi juga menunjukkan pertumbuhan yang positif; sebagai contoh, pada Triwulan IV tahun 2022, produksi bandeng mencapai 230.726 ton, meningkat 22,91% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara makroekonomi, subsektor perikanan (mencakup perikanan tangkap dan budidaya) memberikan kontribusi yang substansial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada tahun 2023, sektor perikanan menyumbang sekitar 2,66% terhadap total PDB Indonesia.
Meskipun angka ini terlihat kecil, nilainya sangat besar dalam skala absolut dan pertumbuhannya konsisten. Hingga triwulan III 2024, kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional bahkan meningkat menjadi 2,54%, menempatkannya sebagai kontributor tertinggi kedua di antara subsektor pertanian lainnya, di atas tanaman pangan dan peternakan.
Dari aspek kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat, khususnya terkait program peningkatan ketahanan pangan nasional yang menjadi salah satu program prioritas Presiden Prabowo, Ikan bandeng (Chanos chanos) lebih dari sekadar hidangan lezat; ia adalah pangan fungsional yang padat gizi.
Bandeng dengan kandungan protein tinggi, asam lemak Omega-3 (EPA & DHA) yang melimpah, serta berbagai vitamin dan mineral esensial, bandeng menawarkan manfaat komprehensif mulai dari mendukung kecerdasan otak, menjaga kesehatan jantung, hingga memperkuat tulang dan sistem imun.
Ikan bandeng sering kali dianggap sebagai super food lokal karena komposisi gizinya yang padat dan seimbang. Kandungan nutrisinya tidak kalah bersaing dengan ikan impor seperti Salmon. Setiap 100 gram daging ikan bandeng mengandung sekitar 20-24 gram protein. Protein ini bersifat komplet, artinya mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan tubuh untuk membangun dan memperbaiki jaringan, memproduksi enzim dan hormon, serta menjadi fondasi bagi tulang, otot, dan kulit yang sehat.
Bandeng juga memiliki kandungan asam lemak Omega-3 (EPA & DHA) yang dapat menjadi unggulan utama ikan bandeng. Ikan ini merupakan sumber asam lemak Omega-3, terutama Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan Docosahexaenoic Acid (DHA), yang sangat vital bagi kesehatan. Kandungan Omega-3 pada bandeng terbukti tinggi, bahkan dapat menyaingi beberapa jenis ikan laut dalam. Asam lemak ini tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan.
Selain makronutrien, bandeng juga kaya akan mikronutrien penting, di antaranya Kalsium dan Fosfor, terutama jika dikonsumsi dalam bentuk bandeng presto, di mana tulangnya menjadi lunak dan dapat dimakan. Kedua mineral ini krusial untuk kesehatan dan kepadatan tulang serta gigi.
Lalu terdapat pula kandungan zat besi yang berperan penting dalam pembentukan hemoglobin, struktur protein+besi dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh, sehingga membantu mencegah anemia.
Bandeng juga kaya akan Selenium, antioksidan kuat yang membantu melindungi sel dari kerusakan, mendukung fungsi tiroid, dan meningkatkan sistem imunitas tubuh. Selain itu bandeng juga memiliki kadar vitamin A, B1, dan B12 yang cukup tinggi, dimana vitamin A baik untuk kesehatan mata dan fungsi imun, sementara vitamin B kompleks berperan dalam metabolisme energi dan fungsi sistem syaraf.
Daging ikan bandeng mengandung beragam kelompok metabolit sebagaimana yang telah diulas di atas. Yang belum dibahas meski sangat penting adalah asam amino. Sebagai komponen dasar protein, asam amino sangat esensial bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh.
Daging ikan bandeng diketahui memiliki komposisi asam amino yang lengkap, dengan asam glutamat sebagai salah satu yang tertinggi. Glutamat berperan dalam memberikan rasa gurih (umami) pada daging ikan.
Lalu bagaimana cara kita dapat mengetahui kandungan berbagai metabolit atau zat nutrisional di dalam daging ikan bandeng tersebut ? Ada beberapa teknik dan metoda yang dikekenal sebagai pemeriksaan metabolomik.
Pemeriksaan laboratorium itu terdiri dari model metabolomik tertarget (Targeted Metabolomics), dimana pendekatan ini berfokus pada pengukuran kuantitatif sekelompok kecil metabolit yang sudah diketahui sebelumnya. Misal peneliti hanya ingin mengetahui kadar asam lemak omega-3 atau asam amino spesifik pada ikan bandeng dari lokasi budidaya yang berbeda.
Lalu ada metoda metabolomik tidak tertarget (Untargeted Metabolomics) atau Sidik Jari Metabolik (Metabolic Fingerprinting), yaitu pendekatan yang bertujuan untuk menganalisis sebanyak mungkin metabolit dalam satu kali pengukuran tanpa menentukan target spesifik di awal. Tujuannya adalah untuk mendapatkan “sidik jari” metabolik yang khas dari suatu sampel dan membandingkannya dengan sampel lain untuk melihat perbedaan secara keseluruhan.
Instrumen analitik dan teknologi pemeriksaan yang umum digunakan untuk memisahkan dan mendeteksi ribuan metabolit yang ada, antara lain adalah;
High-Performance Liquid Chromatography – HPLC yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam ekstrak berdasarkan sifat kimianya. HPLC seringkali digabungkan dengan spektrometri massa.
Bisa juga digunakan Gas Chromatography – GC, yang efektif untuk menganalisis senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil), seperti beberapa jenis asam lemak dan senyawa aroma. GC juga sering dipasangkan dengan spektrometri massa.
Mass Spectrometry – MS sendiri berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengukur massa dari setiap metabolit dengan sangat akurat. Kombinasi LC-MS dan GC-MS merupakan platform yang paling efektif dan populer dalam studi metabolomik.
Sementara itu Nuclear Magnetic Resonance – NMR Spectroscopy yang dapat menganalisis metabolit langsung dalam ekstrak dengan preparasi sampel yang minimal dan bersifat non-destruktif, digunakan untuk mencari informasi struktural yang komprehensif mengenai metabolit.
Dengan menggabungkan berbagai metode canggih ini, para peneliti dapat memetakan profil metabolomik ikan bandeng secara mendalam. Informasi ini tidak hanya bermanfaat untuk memahami nilai gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (seperti pakan dan lingkungan budidaya), tetapi juga dapat digunakan untuk kontrol kualitas, penjaminan keaslian produk, dan pengembangan produk perikanan yang lebih unggul.
Akhirul kalam, meski Bandeng ini kerap kita sajikan di meja makan kita, juga sering dijadikan bahan obrolan, sebagaimana yang saya lakukan dengan kawan-kawan dari Semen Indonesia seperti pada kisah di atas, potensi bandeng sebagai sumber ilmu dan sumber protein tampaknya perlu lebih dalam lagi digali.
Semua semata agar bandeng dapat lebih diberdayakan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat membawa bangsa Indonesia berjaya di pelataran dunia. 🙏🏾🇮🇩