Bumi, Laut dan Garam

Ditulis oleh: Dr.dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes


Assalamu’alaikum wr. wb.
Entah mengapa, masjid Baitul Mukmin Antapani bagi saya senantiasa menghadirkan atmosfer belajar yang amat menyenangkan. Keramah- tamahan jama’ahnya, dan juga suasana lingkungannya yang amat asri, membuat saya betah melakukan kajian di sana. Terlebih pada hari ini saya mendapat kesempatan untuk mengisi kajian ba’dha Subuh yang waktunya relatif lebih leluasa. Walhasil saya pun asyik masyuk belajar bersama tentang berbagai keajaiban ciptaan Allah SWT yang ada di sekitar kita.
Pagi tadi kami belajar cukup banyak hal, mulai dari soal kontribusi Bayt al Hikmah, repositori ilmu pengetahuan yang dibangun oleh Dinasti Abbasiyah dan memiliki begitu banyak koleksi dokumentasi pengetahuan, sampai ke garam dapur. Dimana Bayt al-Hikmah, yang berarti “Rumah Kebijaksanaan”, didirikan oleh Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Ma’mun, pada tahun 815 M.
Sumber-sumber yang kredibel menyebutkan koleksi buku di Bayt al-Hikmah mencapai 400.000 hingga 500.000 jilid. Ada juga sumber yang menyebutkan 601.000 volume buku, ditambah dengan 2.400 mushaf Al-Qur’an. Koleksi tersebut mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, kedokteran, matematika, astronomi, sejarah, dan berbagai cabang disiplin ilmu lainnya.
Selain membahas soal Bayt al Hikmah , saya juga sempat membahas berbagai hal terkait dengan keistimewaan bumi dengan intinya yang terdiri dari besi dan nikel serta efek geodinamo yang menghasilkan mekanisme proteksi dari badai elektromagnetik angkasa. Mekanisme ini dikenal sebagai sabuk Van Allen.
Adapun Bumi yang kita pijak saat ini adalah planet ketiga dari Matahari, dan merupakan satu-satunya objek astronomi yang diketahui mendukung kehidupan (terletak di zona Goldilock, zona ideal yang menyediakan semua prasyarat hadirnya kehidupan biologis).
Bumi diprakirakan terbentuk sekitar 4,54 miliar tahun lalu, Bumi berevolusi melalui proses geologis dan biologis yang kompleks, menghasilkan lingkungan unik dengan lapisan air cair, atmosfer kaya oksigen, serta keanekaragaman hayati. Sekitar 71% permukaannya ditutupi air dalam bentuk samudra, danau, serta sungai, sementara daratan terdiri dari benua, pulau, serta ekosistem yang beragam.
Struktur internal Bumi terbagi menjadi empat lapisan utama: kerak padat, mantel semi-cair yang mendominasi volume planet, inti luar cair yang menghasilkan medan magnet pelindung, dan inti dalam padat bersuhu ekstrem. Kerak Bumi terpecah menjadi lempeng tektonik yang terus bergerak, memicu fenomena seperti gempa bumi, pembentukan gunung, dan aktivitas vulkanik. Salah satu contoh pergerakan kerak bumi adalah pergeseran lempeng Indo Australia ke arah selatan dengan kecepatan sekitar 6,9 cm/tahun, dan telah menimbulkan terciptanya zona subduksi di sepanjang pantai barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa.
Atmosfer Bumi, dengan ketebalan sekitar 480 km, terdiri terutama dari nitrogen (78%) dan oksigen (21%), serta lapisan ozon yang melindungi kehidupan dari radiasi ultraviolet. Atmosfer ini terstratifikasi menjadi troposfer (tempat cuaca), stratosfer (lapisan ozon), mesosfer, termosfer, dan eksosfer. Interaksi antara atmosfer, hidrosfer, dan energi Matahari menciptakan iklim serta siklus cuaca yang dinamis.
Bumi mengorbit Matahari dalam 365,25 hari, dengan kemiringan sumbu 23,4° yang menyebabkan perubahan musim. Bulan, satelit alaminya, menstabilkan kemiringan ini dan memengaruhi pasang surut laut. Kombinasi jarak ideal dari Matahari, medan magnet, dan atmosfer menjadikan Bumi zona layak huni bagi jutaan spesies, termasuk manusia.
Kehidupan di Bumi, yang muncul sekitar 3,5 miliar tahun lalu, telah membentuk ulang komposisi atmosfer dan kondisi lingkungan melalui proses seperti fotosintesis. Namun, aktivitas manusia seperti; industrialisasi, deforestasi, dan polusi, berpotensi memicu krisis lingkungan seperti pemanasan global, penipisan ozon, dan kepunahan massal. Beberapa upaya global telah coba dilakukan seperti Perjanjian Paris yang berusaha mengurangi dampak ini demi keberlanjutan planet biru tempat tinggal tercinta kita ini.
Dalam kajian tadi, mungkin karena terpengaruh oleh kehadiran Prof Hananto Kurnio, seorang profesor riset geologi kelautan BRIN, saya juga sempat menyitir beberapa informasi pemantik terkait dengan pembentukan kepulauan Indonesia. Bahkan dengan mengajak hadirin untuk kembali ke masa sekitar 600 juta tahun lalu, dimana benua purba Gondwana menjadi awal terbentuknya ekosistem sebagaimana yang kita kenal di muka bumi seperti saat ini.
Pasca era Gondwana, rupa muka bumi berubah dan hadir benua Pangea. Benua Pangea terbentuk sekitar 300–200 juta tahun lalu. Benua ini mulai pecah sekitar 200 juta tahun lalu. Benua Pangea terbentuk pada akhir era Paleozoikum dan awal era Mesozoikum. Nama Pangea berasal dari bahasa Yunani Kuno, pan yang berarti “seluruh” dan Gaia yang berarti “bumi”. Ahli meteorologi dan geofisika Jerman Alfred Wegener lah yang pertama kali mempresentasikan konsep Pangea pada tahun 1912.
Perpecahan Pangea disebabkan oleh pergerakan lempeng tektonik bumi dan konveksi mantel. Perpecahan Pangea membentuk benua modern yang kita kenal saat ini, serta Samudra Atlantik dan Hindia. Sebagian besar Pangea berada di belahan bumi selatan dan dikelilingi oleh lautan super Panthalassa. Lautan yang dalam catatan sejarah geologi memiliki peran penting dalam proses hadirnya hidrokarbon yang kini dikenal sebagai minyak bumi.
Minyak bumi, sumber energi yang menjadi tulang punggung peradaban manusia saat ini, terbentuk melalui proses alami yang memakan waktu jutaan tahun. Kisahnya dimulai di lautan purba, sekitar 300–400 juta tahun lalu, ketika Bumi dipenuhi oleh kehidupan mikroorganisme laut seperti plankton, alga, dan bakteri. Saat organisme-organisme ini mati, jasad mereka terakumulasi di dasar laut atau danau yang tenang, bercampur dengan sedimen seperti lumpur dan pasir. Di lingkungan yang minim oksigen ini, materi organik tidak terurai sepenuhnya, melainkan terawetkan dalam lapisan batuan yang disebut batuan sumber (source rock).
Seiring waktu, lapisan sedimen baru terus menumpuk di atasnya, menekan sisa-sisa organik tersebut ke kedalaman Bumi. Tekanan yang semakin besar dan panas dari inti bumi memicu reaksi kimia yang dikenal sebagai diagenesis. Pada suhu sekitar 50–150°C dan kedalaman 2–4 kilometer, materi organik berangsur-angsur berubah menjadi kerogen, zat padat kaya karbon yang terperangkap dalam batuan. Proses ini berlangsung selama ribuan hingga jutaan tahun, bergantung pada kondisi geologi.
Ketika suhu dan tekanan terus meningkat, kerogen mengalami katagenesis, tahap kritis yang mengubahnya menjadi hidrokarbon cair dan gas. Di bawah pengaruh panas bumi yang stabil, molekul-molekul kompleks dalam kerogen pecah menjadi senyawa yang lebih sederhana, seperti minyak mentah dan gas alam. Proses ini paling optimal pada “jendela minyak” (oil window), yakni suhu antara 90–160°C. Jika suhu melebihi 160°C, hidrokarbon akan terurai menjadi gas metana atau bahkan hancur, memasuki tahap metagenesis.
Hidrokarbon yang terbentuk tidak tetap berada di batuan sumber. Karena densitasnya lebih rendah daripada air dan batuan di sekitarnya, minyak dan gas bermigrasi secara perlahan melalui pori-pori batuan atau retakan geologis. Migrasi ini berhenti ketika mereka terperangkap dalam struktur geologi yang kedap, seperti batuan reservoir berpori (misalnya batu pasir atau batu kapur) yang tertutup lapisan impermeabel (seperti serpih atau garam). Struktur jebakan (traps) ini bisa berbentuk kubah, patahan, atau lapisan batuan yang melengkung, menciptakan “kantong” minyak dan gas yang menjadi cadangan fosil.
Waktu menjadi faktor krusial: seluruh proses mulai dari pengendapan organik hingga pembentukan cadangan minyak memakan waktu puluhan juta tahun. Minyak bumi yang kita eksploitasi hari ini adalah hasil dari kondisi geokimia yang unik, pergerakan lempeng tektonik, dan kestabilan lingkungan selama era geologi seperti Zaman Karbon atau Kapur.
Meski dalam kajian Subuh di masjid Baitul Mukmin tadi tidak sepenuhnya bisa mengelaborasi berbagai fakta terkait alam semesta dan bumi kita, karena keterbatasan waktu, tapi saya sempat membahas perkara Laut Jawa. Laut yang terkategori transgresi karena tercipta dari naiknya tinggi permukaan laut di masa inter glasial.
Laut yang luasnya sekitar 310.000 km² dengan kedalaman rata-rata 46 m ini semula adalah daratan yang merupakan bagian dari paparan Sunda yang kini terpisah menjadi pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Maka tak heran jika keragaman hayati di 3 pulau utama Indonesia itu ada kesamaannya. Bahkan beberapa sungai utama di ketiga pulau itu juga bermuara di sungai yang kini terletak di dasar laut Jawa, dimana daerah aliran sungainya dikenal sebagai daerah aliran sungai Molengraaf.
Sedikit membahas soal laut, perdefinisi laut adalah hamparan air asin yang membentang luas menutupi lebih dari 70% permukaan Bumi. Laut adalah dunia misterius yang menjadi pusat kehidupan dan penggerak sistem iklim global. Terbentuk sekitar 3,8 miliar tahun lalu melalui kondensasi uap air dari letusan vulkanik purba dan tabrakan komet yang membeku, laut berevolusi menjadi cekungan raksasa yang menampung 97% air di Bumi. Dari pesisir berpasir yang tenang hingga jurang gelap di palung Mariana, laut menyimpan kisah geologis, ekologis, dan budaya yang tak terhingga.
Di permukaan, laut tampak sebagai bidang biru yang dinamis, dihiasi gelombang yang menari-nari diterpa angin dan pasang surut yang naik-turun dipengaruhi gravitasi Bulan. Namun, di kedalamannya, laut terbagi menjadi lapisan-lapisan yang unik: epipelagic (0–200 m) yang diterangi matahari dan dipadati kehidupan fotosintetik; mesopelagic (200–1.000 m) dengan cahaya redup dan ikan bioluminesensi; bathypelagic (1.000–4.000 m) yang gelap gulita dan bertekanan tinggi; hingga abyssal (4.000–6.000 m) dan hadal (di bawah 6.000 m), zona ekstrem yang hanya dihuni makhluk adaptif seperti cacing tabung raksasa atau ikan drip.
Laut adalah laboratorium kimia raksasa. Air asinnya mengandung 3,5% garam terlarut; terutama natrium klorida,yang berasal dari pelapukan batuan daratan dan aktivitas hidrotermal di dasar samudra. Arus laut, seperti Gulf Stream atau Arus Kuroshio, berfungsi sebagai conveyor belt yang mendistribusikan panas dari khatulistiwa ke kutub, mengatur iklim Bumi dan mencegah ekstrem suhu. Siklus karbon di laut pun menjadi penyeimbang emisi CO₂: fitoplankton menyerap karbon di permukaan, sementara kerang dan karang menyimpannya sebagai kalsium karbonat di dasar laut.
Kehidupan di laut adalah simfoni keanekaragaman yang tiada tara. Terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun menjadi rumah bagi 25% spesies laut, dari ikan badut yang bersembunyi di anemon hingga penyu hijau yang bermigrasi ribuan kilometer. Di zona twilight (mesopelagic), cumi-cumi raksasa dan ubur-ubur transparan beradaptasi dengan tekanan dan kegelapan. Sementara di dekat ventilasi hidrotermal, ekosistem unik bertahan dengan energi kimia dari sulfida, tanpa bergantung pada sinar matahari. Paus biru, makhluk terbesar di Bumi, menjelajahi laut dalam dengan sonar, mengingatkan kita pada skala kehidupan yang tak terduga.
Laut juga menjadi saksi interaksi manusia sejak zaman prasejarah. Peradaban kuno seperti Fenisia, Viking, dan Polinesia mengarunginya untuk perdagangan, penjelajahan, atau kolonisasi. Mitos tentang monster laut seperti Kraken atau Leviathan mencerminkan ketakutan dan kekaguman manusia terhadap kedalamannya yang tak terjamah. Kini, laut menjadi sumber pangan bagi miliaran orang, jalur transportasi global, dan cadangan energi dari minyak bumi hingga gelombang pasang.
Namun, laut yang perkasa pun rentan. Polusi plastik membentuk “pulau sampah” di Pasifik, tumpahan minyak meracuni habitat pesisir, dan penangkapan berlebihan mengancam stok ikan. Pemanasan global memicu kenaikan permukaan laut dan pemutihan karang masif. Upaya seperti konservasi terumbu karang, penetapan kawasan lindung laut, dan teknologi penangkapan berkelanjutan menjadi harapan untuk memulihkan keseimbangan ini. Inilah salah satu fungsi kita (baca; manusia) sebagai khalifah di muka bumi ini.
Kehadiran laut tak dapat dipungkiri juga telah menghadirkan berbagai produk yang bermanfaat di dalamnya, termasuk garam. Garam, butiran kristal putih yang lahir dari pertemuan air laut dan matahari, adalah simbol kesederhanaan dengan kekuatan dahsyat yang mengalir dalam setiap sel tubuh manusia.
Garam terbentuk melalui proses evaporasi air laut atau penambangan deposit purba di perut Bumi, garam (NaCl) bukan sekadar bumbu penyedap rasa, melainkan elemen vital yang menjaga keseimbangan fisiologi manusia. Setiap gramnya menyimpan kisah simbiosis antara natrium (Na⁺) dan klorida (Cl⁻), dua ion yang menjadi penjaga gerbang kehidupan.
Di dalam tubuh, garam bertindak sebagai konduktor listrik alami. Natrium, ion bermuatan positif, adalah aktor utama dalam transmisi impuls syaraf. Saat neuron “berbicara,” natrium bergegas masuk ke dalam sel melalui saluran ion, menciptakan gelombang listrik yang menggerakkan perintah dari otak ke otot, memungkinkan jantung berdetak, paru-paru bernapas, atau mata berkedip. Proses ini secara fisiologi dikenal sebagai pembentukan potensial aksi. Dimana ion Na+ dari garam yang masuk ke sel neuron dapat merubah potensial listrik istirahat sebesar -70 mV menjadi + 40 mV. Terciptalah arus dan tegangan yang dapat menjadi pembawa pesan neuronal yang dikenal sebagai impuls.
Sementara Klorida, ion negatif yang sering terlupakan, adalah penyeimbang cairan tubuh dan komponen kunci asam lambung (HCl), yang mengubah makanan menjadi energi sekaligus mereduksi patogen di saluran cerna.
Keseimbangan cairan tubuh adalah sebuah orkestrasi nan selaras antara sel, darah, dan jaringan yang diatur atau dikonduktori oleh garam. Prinsip osmosis memastikan air mengalir ke area dengan konsentrasi garam lebih tinggi. Ginjal, berperan sebagai penjaga yang bijak, yang terus-menerus menyaring darah, menahan atau membuang kelebihan natrium melalui urin, dipandu oleh hormon aldosteron dan ADH (hormon antidiuretik). Tanpa mekanisme ini, sel bisa mengembang seperti balon atau mengerut seperti kismis, yang tentu saja akan mengacaukan fungsi organ.
Garam juga adalah penjaga tekanan darah. Natrium menarik air ke dalam pembuluh darah, meningkatkan volumenya. Dalam kadar tepat, ini memastikan darah mengalir lancar ke seluruh tubuh. Namun, kelebihan natrium memaksa jantung bekerja keras, memompa lebih kencang; dalam jangka panjang, ini menjadi pemicu hipertensi, “silent killer” yang merusak arteri dan organ. Di sisi lain, kekurangan garam (hiponatremia) bisa menyebabkan kejang, kebingungan, bahkan koma, karena otak kehilangan kemampuan mengatur cairan.
Sejarah manusia sendiri bahkan seperti tak dapat terlepas dari peran garam. Bahkan sudah sejak zaman Romawi, garam menjadi mata uang yang berharga; akar kata “gaji” (“salary”) berasal dari upah tentara Romawi yang dibayar dengan garam. Di pedalaman Afrika, kabilah unta membawa lempengan garam melintasi gurun, sementara di Asia, teknik penguapan air laut telah disempurnakan selama ribuan tahun. Nilainya bukan hanya ekonomi, tetapi juga spiritual: garam digunakan dalam ritual pemurnian, pengawetan makanan, atau sebagai simbol keabadian.
Tak terasa, pada saat pembahasan tentang garam itulah pandang mata saya bersirobok dengan jam dinding besar di bagian belakang masjid, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 06.10. Waktu di mana saya sebenarnya sudah harus mengakhiri sesi kajian ba’dha Subuh ini sedari tadi. Karena tentu saja sebagian hadirin peserta kajian pagi ini ada yang harus menunaikan kewajibannya di tempatnya berkarya atau menempuh pendidikan. Untuk itu kita cukupkan sampai garam dulu ya bahasan kita, semoga nanti dapat dilanjutkan pada kajian di paruh ketiga bulan Ramadhan dimana saya juga telah dijadwalkan untuk kembali mengisi kajian di Baitul Mukmin 🙏🏾🙏🏾🙏🏾