• Terima kasih kepada seluruh jamaah yang telah berbagi rezeki untuk Program Ramadhan 1446 H, Berkah Berseka. جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيرًا ||---|| Mari bergerak bersama dalam mengurangi sampah selama bulan Ramadhan 1446 H, melalui Berkah Berseka, BERsama Kurangi SampAH, Bersih Sehat Lingkungan
Jumat, 18 Juli 2025

Kajian Rabu – KEREN

Kajian Rabu - KEREN
Bagikan

Oleh: Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes.

Pagi ini saya berkesempatan mengisi kuliah Subuh di salah satu masjid paling cantik di kawasan Antapani, Baitul Mukmin. Alhamdulillah, dapat berjumpa kembali dengan jama’ah yang cerdas, bernas, ikhlas, dan istiqomah adalah suatu kebahagiaan tersendiri.

Materi saya kali ini dibuka dengan QS Al-Mukminun ayat 1-11 yang berbunyi demikian:

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ (١) الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ (٢) وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ (٣) وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكٰوةِ فٰعِلُوْنَ (٤) وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ (٥) اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ (٦) فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَ (٧)

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ (٨) وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ (٩) اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَ (١٠) الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ (١١).

Artinya: Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyu dalam sholatnya, orang-orang yang meninggalkan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.

Orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).

Konsep menjadi mukmin yang baik dan berdayaguna bagi sesama adalah topik utama yang ingin saya hantarkan pagi ini. Mukmin yang cerdas dan mampu memaknai sholatnya sebagai bentuk konstruktor nilai yang dapat diimplementasikan sebagai representasi kualitas akhlaq dan adab yang menjadi parameter dalam interaksi lintas dimensi.

Manusia-manusia mukmin yang mampu merumuskan strategis dalam menganalisis berbagai kondisi yang membutuhkan inovasi, juga filtrasi dan klasifikasi agar dapat disikapi sesuai dengan proporsi. Singkat kata, manusia yang mampu mensyukuri nikmat sehat dan cerdas dalam bentuk mengoptimalkan kedayagunaan dalam hidup.

Maka pagi ini saya coba memberikan gambaran tentang kondisi dampak perkembangan teknologi terhadap sistem pengambilan keputusan, juga bagaimana beberapa sistem dapat mengubah perilaku dan standar moral atau akhlaq manusia.

Hingga tak dapat dipungkiri bahwa dakwah di zaman ini semestinya memang sudah harus memasuki ranah digital dengan konsep-konsep unik yang dapat memfasilitasi proses transformasi diri dalam konteks memperbaiki kualitas akhlaq yang sejalan dengan dinamikanya amat flutuatif serta amat dipengaruhi oleh volatilitas kondisi lingkungan.

Saya mencoba memberikan gambaran tentang hubungan antara sikap konsumtif dan degradasi akhlaq, serta bagaimana dunia digital dapat menjadi media untuk memanipulasi atau memodulasi standar moral atau akhlaq manusia.

Saya memberikan contoh tentang adanya konsep framing, filter bubble, dan echo chamber, yang pada gilirannya dapat melahirkan sikap moral FOMO atau fear of missing out dan YOLO alias You Only Live One, dua kondisi yang mendorong banyak tindakan instan dilakukan demi menuntaskan hasrat secara cepat, tanpa mempertimbangkan aspek maslahat-mudharat.

Algoritma ber filter bubble dan echochamber akan memperkuat efek gaung dan isolasi informasi dalam suatu gelembung augmentasi yang secara terus menerus akan menguatkan dan mengonfirmasi suatu informasi yang pada akhirnya dapat dianggap sebagai suatu kebenaran, bahkan jalan dan pilihan hidup yang “wajib” untuk dilakukan.

Misal, efek flexing alias pamer kemewahan, termasuk ngopi di tempat mahal dan fancy yang kemudian foto atau videonya diunggah di media sosial, akan dapat menimbulkan rasa “keterasingan” dan “kesendirian” karena merasa “berbeda” dengan sosok atau mayoritas komunitas yang berinteraksi dengan kita di dunia virtual atau sosial.

Maka tak heran, meski terkesan memaksa diri, kita kerap ingin hadir atau menggunakan suatu produk, bukan karena esensi utilitasnya, melainkan karena dorongan rasa insecure atau “kalah” dengan mereka-mereka yang sudah mencoba.

Lalu apakah dari kondisi itu lahir kemudharatan lanjutan ? Tentu saja. Pemenuhan kebutuhan terhadap tuntutan gaya hidup media sosial berbiaya tinggi, dapat saja memantik dan menjadi motif perilaku koruptif atau manipulatif yang jelas tidak amanah dan dapat mendegradasi akhlaq dengan segenap rambu dan parameternya.

Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once) tumbuh subur di lahan gembur gelembung algoritmik. Secara psikologis, FOMO lahir dari teori perbandingan sosial, dimana manusia cenderung menilai diri melalui sudut pandang orang lain. Ketika kita melihat teman-teman kita berlibur ke Bali atau membeli hape baru, amigdala di otak, pusat respons ketakutan, mengirim sinyal cemas: “Aku kalah, aku beda, aku bermasalah!”. Bersamaan dengan itu, YOLO akan menjadi pembenaran hedonis. Prefrontal cortex, area otak pengendali impuls, kewalahan melawan godaan: “Hidup hanya sekali, kenapa tidak mencoba, bukankah ada banyak cara untuk mendapat dana?”.

Maka korupsipun turut menggejala, open BO, jual narkoba, bahkan judi online pun dapat menjadi pilihan.

Ketika hasrat konsumtif tak terbendung, batas moral mulai kabur. Di tingkat individu, kadang kita memilih pinjaman online beresiko tinggi demi membeli iPhone terbaru. Di tingkat komunal yang bersifat sistemik, budaya instan meracuni nilai kerja keras, empati publik, kolaborasi, kooperasi, dan kompetisi sehat dengan semangat merit yang egaliter.

Korupsi tak lagi dipandang sebagai kejahatan, melainkan “jalan pintas” yang wajar. Di otak, korteks prefrontal yang lemah tak mampu menimbang konsekuensi jangka panjang. Stres kronis akibat FOMO meningkatkan hormon kortisol, mengaburkan logika dan memperkuat pola pikir shortcut. Korupsi bahkan kerap dinormalisasi sebagai bagian dari budaya kerja yang disetarakan dengan norma dan etika dengan azas kebersamaan dan solidaritas yang solid.

Setiap kali kita membeli barang atau produk yang tengah “viral” atau membagikan foto makan malam di cafe hidden gem, nukleus akumbens; pusat reward otak akan mengalirkan dopamin yang menghadirkan euforia sesaat. Namun, seperti obat analgesik yang bersifat simptomatik, efeknya akan cepat hilang. Algoritma pun menyodorkan konten baru, memicu siklus belanja-puas-ingin lagi. Perlahan, kebahagiaan sejati tergantikan oleh ilusi kepuasan instan yang semakin memantik kondisi adiksi

Efek filter bubble dan echo chamber tak hanya mengisolasi persepsi, tetapi juga menciptakan realitas alternatif di mana konsumerisme adalah norma. Generasi digital tumbuh dan meyakini bahwa kebahagiaan bisa dibeli, sementara kesabaran adalah mitos dalam dongeng utopia. Budaya instan menjadi epidemi, mulai dari diet cepat saji hingga kuat sukses semalam laris dijaja.

Inilah ironi zaman: teknologi yang dirancang untuk meningkatkan hubungan antar manusia dalam berbagai bentuk relasi, kini justru menjerat kita dalam labirin keinginan tiada akhir. Untuk memutus rantai perangkat hasrat yang sedemikian kuat dan akan terus semakin kuat, diperlukan kesadaran bahwa algoritma media sosial yang diasisteni AI, tetaplah alat. Kembali pada hubungan antar manusia yang manusiawi dengan pendekatan multisensori dan multipersepsi, literasi digital, dan penguatan fungsi eksekutif otak mungkin menjadi kunci. Namun, selama dopamin mengalir deras di ruang gema, pertarungan antara kesadaran dan candu tetap tak mudah untuk dilalui. Otak kita di tengah gempuran media sosial, sudah berubah ibarat padang Kurusetra tempat berlangsungnya perang Bharatayuda.

Pada akhirnya mungkin kita harus meredefiniai idiom keren. Karena ingin keren dan lebih dari yang lainlah yang memantik terjadinya budaya hedon, instan, konsumtif, dan pada gilirannya manipulatif serta koruptif.

Maka keren itu sebaiknya sejalan dengan sabda Baginda Rasul:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.” (HR Ath-Thabari).

Kita sudah “keren” jika sudah dapat menghasilkan manfaat bagi sesama, diri kita sendiri, dan tentu saja bagi segenap isi alam semesta yang telah Allah ciptakan.

Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin” (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ) ayat ke-107 dari Surah Al-Anbiya dalam Al-Quran, dimana terjemahannya adalah: “Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta sekalian alam.”

SebelumnyaKajian Selasa Subuh: Keajaiban dari Penciptaan ManusiaSesudahnyaKajian Jumat #MemaknaiHadis Semua penyakit ada obatnya kecuali tua/pikun