Petrikor di Baitul Mukmin

Ditulis oleh: Dr.dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes.

Alhamdulillah hari Ahad kemarin adalah jadwal keempat saya memberikan kultum Ramadhan di masjid Baitul Mukmin Jl. Purwokerto no 1 Antapani Kota Bandung. Alhamdulillah tahun ini saya mendapat kesempatan untuk bersama menimba ilmu di masjid yang desain bangunan dan interiornya sangat indah itu sebanyak 5x di sepanjang bulan suci Ramadhan.
Masjid ini memang spesial, tampak sekali direncanakan dengan sangat teliti dan telah mengakomodir berbagai aspek terkait seperti; fungsi sebagai tempat ibadah, ruang publik yang inklusif, desain yang estetik, dan dapat memfasilitasi kenyamanan jamaah. Dari aspek akses saja ada jalur khusus bagi para pengunjung dengan disabilitas, tempat wudhu yang sanitasinya sangat baik, jamban dengan perlengkapan modern dan terawat dengan baik dan tentu bersih.
Memasuki ruang utama dari sisi selatan masjid, kita akan menjumpai ruang terbuka di selasar Masjid yang difungsikan sebagai perpustakaan dan ruang fungsional pengurus masjid (DKM) yang digunakan untuk mengelola proses ibadah dan kegiatan lainnya yang berlangsung di masjid.
Sistem sirkulasi terbuka khas tropis, perhitungan pencahayaan dengan tingkat luminensi yang terukur dengan baik, display informasi penting dengan ukuran font yang ramah di penglihatan lansia, juga sound system yang menghasilkan suara jernih dari imam sholat ataupun penceramah membuat kita semua akan betah beribadah di masjid yang dipenuhi aura rahmah ini.
Tak hanya itu saja, aktivitas pro lingkungan masjid ini juga sangat patut diapresiasi. Himbauan dan edukasi untuk mengelola sampah lingkungan gencar dilakukan. Memilih dan memilah antara sampah organik, anorganik, dan residual sudah menjadi “ritual” yang berhasil dibiasakan di kawasan masjid yang satu ini. Bahkan masjid Baitul Mukmin Antapani ini menjadi masjid yang masuk sebagai 3 besar se-Kota Bandung, di kategori masjid di lingkungan permukiman, dalam hal tata kelola limbah dan optimasi faktor lingkungan.
Jika ada kesempatan, saya ingin ikut belajar lebih mendalam tentang berbagai program pro-lingkungan di masjid ini. Ada maksud juga ingin memperkenalkan dengan sahabat saya, Dr. dr. Arif Rahman Sadad, Sp.KF, SH, M.Si. Med (Direktur Perencanaan dan Pengembangan Organisasi dan Umum RSCM) yang berhasil menjadikan atap masjid Asy Syifa RSCM menjadi lahan pertanian vertikal berbasis hidroponik yang sangat produktif.
Juga mungkin saya akan coba mengajak Kang Zazat, guru saya yang merupakan dedengkot dari The Learning Farm Kawungluwuk Sukaresmi Cianjur untuk berbagi tips dan teknik dalam pengembangan komposter skala rumah tangga yang pas untuk diterapkan di lingkungan masjid.
Terlepas dari itu semua, entah mengapa, setiap berkegiatan di masjid itu ada rasa damai dan senang yang sulit untuk dilukiskan lewat kata-kata. Jamaah masjid ini mulai dari para senior yang telah berusia senja nan bijaksana sampai dengan anak-anak usia sekolah, bahkan balita; amatlah santun, ramah, dan senantiasa mengekspresikan sifat bersahabat. Imam sholatnya yang beberapa di antaranya berusia belia sangat baik bacaan dan hafalan Quran nya, hingga saat ayat-ayat suci dilantunkan, rasanya ada kesejukan yang dialirkan ke segenap elemen tubuh kita yang memang mendamba belaian cinta dari Sang Maha Pencipta.
Dan kesejukan itu pula yang saya rasakan saat semalam mengisi kultum selepas sholat Isya, sebelum sholat tarawih. Di luar hujan yang semula rintik-rintik, mendadak membesar dan semakin menderas. Sebagai seorang pluviophile, alias pencinta hujan dan Penciptanya, hati saya sontak merasa begitu sejuk dan damai. Dan karena hujan itulah saya membuka kultum malam ini dengan cerita tentang hujan dan tanah yang merindu.
Allahuma shoyyiban nafi’an, semoga hujan dan kultum malam ini dapat menjadi bagian dari kebermanfaatan yang berkesinambungan, yang menghasilkan kebaikan bagi siapa saja yang berkelindan di dalamnya.
Cerita hujan dan tanah, juga awan-awan kumulonimbus yang bak harum manis menjadi saksi dari molekul air yang berevaporasi dan terkondensasi di awan vertikal yang menembus tegak lurus sampai ketinggian 13 km, atau sekitar 40 ribu kaki, membawa kita pada banyak tanya tentang apa, mengapa, dan bagaimana.
Saat baru saja saya menaiki mimbar, tetiba ada angin berhembus dari arah pintu selatan yang memang dibuka lebar, selintas terendus suatu aroma khas yang saya tahu berasal dari tanah yang tersiram air dan membawa kedamaian yang mengalir; ya inilah Petrikor.
Petrichor atau petrikor adalah aroma khas yang muncul setelah hujan menyentuh tanah kering. Fenomena ini dihasilkan dari interaksi kompleks antara senyawa kimia organik, mikroorganisme tanah (terutama actinomycetes), dan dinamika fisika-kimia tanah.
Petrichor (dari bahasa Yunani petra = batu, ichor = cairan mitologis) pertama kali dijelaskan secara ilmiah oleh ilmuwan Australia, Isabel Bear dan R.G. Thomas, pada tahun 1964. Aroma ini terutama berasal dari senyawa geosmin (C₁₂H₂₂O) dan 2-methylisoborneol (C₁₁H₂₀O), yang diproduksi oleh bakteri tanah actinomycetes. Prosesnya melibatkan pelepasan senyawa volatil saat air hujan berinteraksi dengan tanah kering, disertai partisipasi senyawa organik dari tumbuhan dan ozon atmosfer.
Actinomycetes, khususnya genus Streptomyces, adalah bakteri Gram-positif yang hidup di tanah dan berperan sebagai produsen utama geosmin. Geosmin disintesis selama fase sporulasi bakteri melalui jalur metabolik yang dimulai saat enzim germacradienol synthase mengkatalisis konversi farnesyl pyrophosphate (C₁₅H₂₈O₇P₂) menjadi germacradienol, prekursor geosmin. Germacradienol kemudian dioksidasi oleh enzim germacradienol oxidase menjadi geosmin (C₁₂H₂₂O).
Di saat kondisi lahan atau tanah kering, Streptomyces membentuk spora resisten dan mengakumulasi geosmin di dalam sel. Curah hujan yang tiba di bumi Antapani akan menyebabkan lisis sel bakteri dan pelepasan spora bersamaan dengan geosmin ke lingkungan.
Selain geosmin, petrichor juga mengandung 2-methylisoborneol (dihasilkan oleh cyanobacteria dan streptomyces). Ada pula asam lemak volatil dari dekomposisi materi organik. Kemudian ada ozon (O₃) yang terbentuk dari petir, yang ketika bereaksi dengan senyawa organik tanah akan menghasilkan aroma khas yang kita persepsikan sebagai rasa “bersih”.
Tetes hujan yang jatuh ke tanah kering akan menghasilkan tekanan tinggi (hingga 1-5 GPa), hingga dapat membuka struktur pori tanah dan melepaskan partikel aerosol halus (diameter <1 µm) yang mengandung geosmin. Efek ini dikenal sebagai efek Piezoelektrik.
Lalu terjadi proses solubilisasi lipid, dimana air hujan akan melarutkan lemak dan senyawa hidrofobik di permukaan tanah, serta memfasilitasi terjadinya penguapan senyawa aromatik. Kemudian ozon atmosfer akan bereaksi dengan senyawa organik tak jenuh (misal minyak atsiri dari tumbuhan) untuk menghasilkan aldehida dan keton volatil.
Geosmin dideteksi oleh reseptor OR51E2 di epitel olfaktori manusia dengan ambang batas deteksi sangat rendah (0,7 bagian per miliar). Aroma petrichor pada gilirannya akan merangsang pelepasan serotonin dan dopamin di otak, yang menimbulkan efek menenangkan.
Ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa sensitivitas tinggi manusia terhadap geosmin diduga terkait pula dengan kemampuan evolutif untuk mendeteksi keberadaan sumber air.
Maka dalam renungan kultum semalam, saya mencoba mengajak jamaah untuk bersama merenungkan betapa indahnya sistematika penciptaan semesta yang senantiasa dipenuhi dengan kejutan-kejutan kognisi, saat kita mengetahui ada sistematika, fungsi, dan model interaksi seperti substitusi, komplementasi, dan augmentasi, serta betapa terhubung nya kita dengan semua itu. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾