Kajian Rabu, Pasukan Santri di Dalam Tubuh Kita


PASUKAN SANTRI DI DALAM TUBUH KITA
Ustadz Dr. dr. Tauhid Nur Azhar, M.Kes
Masjid Baitul Mukmin, Antapani, Bandung
Rabu, 13 Agustus 2025, 05.12 WIB
Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mujadilah ayat 11)
Setiap hari, bahkan setiap detik, di dalam diri kita ini terjadi sebuah perjuangan agung yang seringkali tidak kita sadari. Allah SWT, dengan segala kebesaran-Nya, telah menempatkan sebuah pasukan pengamanan yang luar biasa hebatnya di dalam tubuh kita. Pasukan ini tidak pernah tidur, tidak pernah lalai, dan selalu siaga menjaga kita. Mereka adalah sel-sel darah putih, atau lekosit.
Pagi ini, selepas Subuh mari kita bersama bertafakur, merenungi kebesaran Allah Swt melalui kisah keajaiban ini. Mari kita ibaratkan mereka sebagai para santri yang dididik untuk menjadi pembela tubuh kita.
Perjalanan para santri ini dimulai dari sebuah “kampung halaman” yang sangat produktif dalam memproduksi berbagai jenis sel-sel darah, yaitu sumsum tulang. Di sinilah mereka semua dilahirkan. Allah Swt menciptakan mereka dengan tugas yang mulia.
Dari “kampung halaman” ini, lahirlah dua kelompok besar santri. Kelompok pertama adalah Lekosit Polimorfonuklear. Mereka ini ibarat santri-santri yang gagah berani, pasukan reaksi cepat. Mereka tidak perlu pendidikan yang terlalu spesifik, karena tugas mereka adalah menjadi garda terdepan. Mereka siap bertugas kapan saja, di mana saja, melawan musuh yang terlihat jelas.
Kelompok kedua adalah para Limfosit. Nah, mereka ini adalah calon-calon “ulama” atau pasukan khusus. Mereka lahir dengan potensi kecerdasan yang luar biasa, namun mereka butuh “mondok” atau menimba ilmu di tempat khusus agar potensi mereka terasah. Sebagian dari mereka dikirim ke sebuah “pesantren” elit bernama kelenjar timus, yang letaknya di dada kita. Di sini, mereka dididik dengan sangat keras untuk bisa membedakan mana “kawan” (sel tubuh sendiri) dan mana “lawan” (zat asing). Jika ada santri limfosit yang gagal dalam ujian ini dan berpotensi menyerang kawan sendiri, maka ia akan dieliminasi. Masya Allah, sebuah sistem untuk mencegah pengkhianatan dari dalam.
Sebagian lagi dikirim ke “pesantren perbatasan” yang strategis, yaitu plak-plak peyeri yang tersebar di dinding usus kita. Usus kita ini ibarat jalur masuk internasional. Segala macam makanan dan minuman dari luar masuk ke sana. Di sinilah para santri limfosit belajar mengenali berbagai macam zat asing yang dapat menjadi sumber bahaya potensial dan menyusup lewat makanan.
Bayangkan, seorang anak kecil berlari-lari riang di pelataran masjid kita ini, lalu qadarullah, ia terjatuh. Lututnya terluka dan berdarah. Luka itu mungkin kecil bagi kita, tapi bagi dunia di dalam tubuh, itu adalah sebuah gerbang perbatasan yang telah terbuka.
Bakteri-bakteri dan berbagai jenis mikroba lainnya dari aspal dan tanah, dapat langsung merangsek masuk. Seketika itu juga, sel-sel tubuh yang rusak di area lutut itu meminta tolong dengan mengirimkan pesan “broadcast” seperti pesan broadcast WA. Pesan mereka bukan suara, melainkan sinyal kimia. Sinyal ini seperti bunyi kentongan yang dipukul bertalu-talu di sebuah desa di Bantul sana, mengabarkan jika ada potensi bahaya.
Siapa yang pertama datang? Tentu saja, pasukan reaksi cepat polimorfonuklear! Mereka yang sedang berpatroli di “jalan raya” pembuluh darah, langsung menerima pesan darurat itu.
Dengan izin Allah, mereka melakukan hal yang luar biasa. Mereka bisa mengubah bentuk tubuhnya, menjadi lebih lentur, lalu menyelinap keluar dari celah-celah pembuluh darah yang juga dengan sigap membuka diri untuk dapat dilewati pasukan lekosit agar dapat sampai ke lokasi luka.
Setibanya di sana, mereka tidak banyak bicara. Mereka langsung beraksi! Mereka menelan, melahap, dan menetralisir bakteri dan mikroba yang “tersesat” ke dalam tubuh itu. Sebuah aksi pertahanan tubuh yang heroik. Banyak dari pasukan pemberani ini yang gugur dalam menjalankan tugas pengamanan itu. Jasad-jasad mereka yang gugur bersama berbagai mikroba dan zat asing yang sudah dikelolanya inilah yang kemudian kita lihat sebagai nanah.
Mereka berkorban nyawa demi melindungi seluruh tubuh. Sebuah pelajaran tentang pengorbanan tanpa pamrih.
Sekarang, bayangkan kehadiran “agen asing” yang lebih cerdas dan berpotensi membahayakan. Bukan lagi para pendatang pelintas batas di perbatasan, tapi penyusup yang masuk dengan mendompleng makanan dan ingin menguasai sistem tubuh kita. Ambil contoh bakteri Salmonella typhi, penyebab penyakit tifus.
Pasukan pengamanan reaksi cepat mungkin akan kewalahan dalam mengenali dan mengelola kehadiran agen asing ini, karena Salmonella cerdas, bisa bersembunyi di dalam sel. Di sinilah peran para “ulama” dan “pasukan khusus” limfosit dibutuhkan.
Sebuah sel intelijen (sel penyaji antigen) berhasil mengamankan satu bakteri Salmonella. Bakteri itu tidak langsung didaur ulang atau dilisis, tapi “diinterogasi”. Penanda atau ciri khasnya (antigennya) diambil, lalu dibawa menghadap komandan Limfosit T Penolong.
Sang komandan, setelah menerima laporan intelijen, langsung mengerti jenis musuh yang dihadapi. Ia kemudian mencari santri lain yang paling ahli dalam hal ini, yaitu Limfosit B. Limfosit B ini ibarat pabrik teknologi pengamanan. Setelah mendapat perintah dari komandan T, Limfosit B langsung bertransformasi. Ia memperbanyak diri dan mulai memproduksi jutaan agen penetralisir zat asing super canggih yang disebut antibodi.
Antibodi ini bukan sembarang agen penetralisir. Ia adalah agen pengamaman dengan teknologi penjejak seperto “rudal pencari panas” yang hanya akan mengunci dan menempel pada bakteri Salmonella. Ia tidak akan salah sasaran. Jutaan antibodi ini dilepaskan ke seluruh aliran darah, memburu, menandai, dan melumpuhkan setiap bakteri Salmonella yang mereka temui, sehingga pasukan lain bisa dengan mudah mendekonsruksi dan mendekontaminasinya.
Dan yang lebih menakjubkan lagi, setelah tugas mengamankan agen cerdas asing (Salmonella) usai, sebagian dari Limfosit T dan B ini tidak mati. Mereka menjadi Sel Memori. Mereka menjadi “para sesepuh” yang menyimpan ingatan lengkap tentang ciri dan cara kerja Salmonella.
Jika di masa depan bakteri yang sama mencoba menyusup lagi atau terbawa tidak sengaja ke saluran cerna, para sesepuh berupa sel memori ini akan langsung mengenali dan mengorganisir respon pengamanan yang jauh lebih cepat dan efektif. Inilah konsep imunitas yang Allah Swt tanamkan dalam diri kita. Sebuah sistem silaturahmi yang ditandai dengan prinsip-prinsip: keseimbangan, keselarasan, dan kebersinambungan.
Semoga dengan merenungi kisah para “santri” di dalam tubuh kita ini, kualitas keimanan dan ketaqwaan kita dapat semakin meningkat.
Semoga kita semakin sadar bahwa kita telah diciptakan dengan sedemikian sempurna serta indahnya, dan di dalam tubuh kita ini terdapat begitu banyak tanda keajaiban ciptaan Allah Swt.
Salah satunya ada pasukan pengamanan yang ditugaskan Allah Swt untuk senantiasa menjaga kita dari berbagai potensi bahaya.
Bukankah itu bukti kasih sayang-Nya yang tak berhingga?

